This site uses cookie, to continue browsing this site means you agree to our cookie policy Find out more here. Use Latest Chrome version for the best experience.
Sesuai dengan janji dan slogan kampanyenya dalam proses pemilihan, Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump mempraktikan kebijakan yang menata ulang perekonomian negaranya.
Kebijakan itu direalisasikan dalam sektor perdagangan dengan menerapkan sistem proteksionisme melalui perombakan tarif yang diklaimnya selama ini tidak adil dan menyebabkan defisit bagi AS.
Karena alasan itu, awal April 2025, Trump mengumumkan kebijakan tarif resiprokal yang disebutnya sebagai bagian dari strategi Liberation Day. Tujuannya untuk penataan ulang sistem perdagangan global sebagai perwujudan komitmen terhadap pertahanan, reformasi ekonomi, dan revaluasi mata uang.
Namun, kebijakan tersebut memiliki dampak serius bagi negara-negara yang jadi mitra dagangnya. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia, Produk Domestik Bruto (PDB) AS mencapai lebih dari US$30 triliun dengan jumlah penduduk 340,1 juta jiwa. Sehingga membuat Negeri Paman Sam itu jadi tujuan dagang bagi sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia.
Baca juga: Macet Horor Tanjung Priok, Sinyal Bongkar Muat di Pelabuhan Mesti Segera Diperbaiki
Dalam konteks kebijakan tarif Trump itu, Indonesia masuk dalam kelompok negara dengan tarif resiprokal tinggi, yakni 32% dan menempati peringkat ke-15 dalam daftar mitra dagang dengan defisit neraca perdagangan tertinggi bagi AS. Sekedar informasi, sepanjang tahun 2024, defisit AS dalam berdagang dengan Indonesia mencapai US$ 17,883 juta.
Indonesia tidak dikategorikan sebagai lawan strategis seperti China atau Rusia, dengan posisi sebagai conditional swing state. Tetapi, kebijakan ekonomi Indonesia kini berada dalam radar AS.
Tapi, penilaian AS tidak berhenti pada tarif semata. Dalam formulasi kebijakan tarif resiprokal terbaru, mereka juga memperhitungkan berbagai hambatan non-tarif (Non-Tariff Measures/NTMs) yang diberlakukan di negara mitra dagangnya.
Indonesia dinilai punya sejumlah NTMs yang dianggap memberatkan dan jadi perhatian utama pemerintah AS, seperti perizinan impor (lartas) dengan prosedur yang kompleks dan kuota terbatas untuk berbagai produk, termasuk komoditas utama ekspor AS ke Indonesia.
Lalu pemberlakuan kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang dinilai membatasi ruang masuk bagi produk asing, terutama pada sektor teknologi, alat kesehatan, dan energi. Serta, ketentuan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yaitu kewajiban repatriasi yang dianggap mengganggu arus kas perusahaan multinasional.
Baca juga: 5 Keunggulan Truk Wingbox buat Kirim Barang
Semua penilain dari AS itu menjadikan skor prevalensi NTMs Indonesia lebih tinggi dibanding negara-negara ASEAN lain seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand.
Berdasarkan pemeringkatan oleh Dezan (2025), Indonesia menempati posisi ke-4 tertinggi dalam indeks prevalensi hambatan non-tarif di bawah Kamboja, India, dan Vietnam.
Penerapan tarif tinggi oleh AS diperkirakan akan memberikan dampak signifikan pada rantai pasok (logistik) global dan mendorong perusahaan multinasional untuk mengevaluasi ulang lokasi produksi mereka.
Negara-negara seperti Vietnam, Thailand, Kamboja, dan Malaysia yang sebelumnya jadi tujuan utama relokasi manufaktur dari China, kini menghadapi tarif tambahan yang cukup memberatkan dari AS.
Masing-masing negara tersebut, bakal menghadapi tarif resiprokal mencapai 37 hingga 46 persen. Kondisi itu jelas membuka peluang bagi negara lain, termasuk Indonesia, untuk menarik investasi yang dialihkan dari negara-negara yang terkena tarif tinggi tersebut.
Indonesia jelas memiliki daya saing untuk itu karena berbagai alasan, diantaranya:
Biaya tenaga kerja yang relatif rendah
Populasi lebih dari 268 juta jiwa
Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari US4 1 triliun
Dominasi kelas menengah yang berkembang, serta
Kondisi ekonomi yang stabil
Baca juga: Ketergantungan Sektor Industri dan Perdagangan pada Angkutan Logistik
Meski, dengan catatan, Indonesia juga harus meningkatkan iklim investasinya. Pemerintah telah menetapkan target investasi hingga Rp 1.905 triliun di tahun 2025, dengan fokus pada sektor manufaktur, jasa, pariwisata, ekonomi digital, serta energi terbarukan.
Jika Indonesia gagal mengambil langkah-langkah strategis untuk meningkatkan daya tarik investasinya, maka negara berisiko kehilangan peluang investasi yang signifikan.
Terlebih di periode sebelumnya, Indonesia hanya menerima sebagian kecil dari potensi relokasi global, karena kalah bersaing dengan negara-negara seperti Vietnam dan Meksiko yang menawarkan kombinasi insentif fiskal, efisiensi birokrasi, dan perjanjian dagang yang lebih menguntungkan.
Selain dua hal tersebut biaya logistik juga harus lebih bersaing, dengan proses yang efektif dan efisien. Pelaku usaha yang beroperasi di Indonesia (terlebih yang berorientasi ekspor), harus lebih jeli memilih mitra perusahaan logistik yang profesional dan punya layanan komprehensif.
Perusahaan logistik yang bisa jadi pilihan adalah SELOG salah satu lini bisnis dari PT Serasi Autoraya (SERA) yang juga bagian grup Astra.
Dengan pengalaman lebih dari 20 tahun, SELOG hadir menawarkan berbagai kebutuhan jasa logistik yang komprehensif dan end to end. Mulai dari Trucking, Shipping Services, Freight Forwarding, Warehousing, serta Project Cargo.
Baca juga: Kenapa Perusahaan Logistik Wajib Sertifikasi Halal? Ini Jawabannya
Selain itu, Layanan SELOG didukung penggunaan teknologi digital terkini yang tidak hanya memudahkan, tetapi juga efektif dan efisien bagi bisnis, salah satunya dengan teknologi Astra Fleet Management Solution (AstraFMS) dan Warehouse Management System (WMS).
Kedua teknologi itu memudahkan pelaku bisnis memantau kendaraan pengiriman secara real-time untuk memastikan keamanan kendaraan dan pengemudi. Serta mengoptimalkan proses penerimaan barang, penyimpanan, manajemen stok, pengambilan, pengemasan, dan pengiriman barang.
Informasi lebih lanjut tentang profil dan layanan SELOG, kamu bisa mengunjungi website resmi SELOG www.selog.astra.co.id serta media sosial di instagram @selog_astra dan Linkedin SELOG.